Tenun Tradisional Suku Dayak

Kepandaian menenun kain dengan tehnik ikat lungsi seperti yang terdapat pada masyarakat suku iban di Kapuas Hulu dan suku desa di Kabupaten Sintang, diperkirakan telah dikenal sejak jaman prasejarah

            Pengetahuan bertenun ini kemungkinan berasal dari para imigran pengembara yang dating ke Indonesia dari daratan Asia Tenggara pada masa tersebut, yaitu berupa penggunaan alat tenun yang memakai kayu dipinggang dengan ragam hias kebudayaan Dong Son yang berbentuk geometris, pohon hayat dan manusia, seperti pola hias yang terdapat pada nekara-nekara jaman perunggu.

            Selain ragam hias Don son tersebut, terlihat pula adanya penerapan pola hias asimetris berbentuk binatang dan manusia.

            Dari setiap kain tenun yang dihasilkan oleh orang dayak ini, nilai estetis yang tampil tetap disertai dengan nilai simbolik yang berhubungan dengan adapt dan mithologi, baik dalam berbagai bentuk pola hias maupun tata warna yang memberikan gambaran tentang lingkungan kehidupan mereka dan konsep kepercayaan yang mempedomani struktur relegiusnya.

            Dalam perilaku social masyarakatnya, kain tenun ikat ini tidak hanya sebagai pakaian semata ataupun penghias penampilan tetapi lebih berfungsi sebagai sesuatu yang melambangkan kelembagaan adat, makanya penggunaan kain tenun sebagai pakaian hanya khusus diperuntukkan sewaktu dilakukannya upacara-upacara adat atau upacara-upacara lainnya yang bersifat ritual religius.

            Dalam perkembangan selanjunta yang berkaitan pula dengan berkembangnya perikehidupan masyarakat Suku Dayak saat sekarang ini, dimana kesibukan dalam menyerap sector pengetahuan formal dan kesibukan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomis yang semakin meningkat dan terbatas, menyebabkan pula kebiasaan menenun kain ini cenderung semakin ditinggalkan, yang berarti pula semakin langkanya ditemui penenun-penenun tradisional seperti masa lalu.